Yunika: Dari Dunia Teknologi menjadi Travelpreneur
Tak banyak yang berani meninggalkan pekerjaan mapan di dunia teknologi untuk memilih hidup penuh ketidakpastian di jalan-jalan asing. Tapi Yunika (@chapterofyunika) bukan orang biasa. Ia bukan hanya memilih keluar dari jalur karier yang aman, ia juga memilih destinasi-destinasi yang bahkan tidak terpikirkan oleh kebanyakan orang. Bukan Jepang atau Korea. Bukan juga Paris atau London. Tapi Pakistan. Kyrgyzstan. Turkmenistan.
Dari pekerja tech menjadi pebisnis travel gear. Perjalanan Yunika adalah kisah tentang keberanian, adaptasi, dan menciptakan kehidupan yang sesuai versinya sendiri.
Karier Stabil, Tapi Hati Mulai Bertanya
Yunika memulai kariernya di Tokopedia, awalnya sebagai intern saat kuliah, lalu lanjut bekerja full-time selama lima tahun. Setelah itu, ia pindah ke perusahaan fintech Amartha, di mana ia berperan sebagai Head of Engineer. Semua terlihat ideal dari luar: pekerjaan di bidang teknologi yang sedang naik daun, tim yang solid, dan penghasilan yang stabil.
Tapi di balik semua itu, ada satu momen yang mengubah arah hidupnya: perjalanan pertama ke Jepang di tahun 2019.
“Awalnya aku nggak terlalu excited karena merasa Jepang udah pasaran,” ujarnya. Tapi saat ia dan teman-temannya pergi ke daerah pegunungan seperti Tateyama, semua berubah. “Langsung jatuh cinta,” katanya singkat.
Sejak saat itu, muncul satu pertanyaan yang terus mengusik: "Kenapa hidupku cuma muter di Jakarta, kantor, dan pekerjaan yang itu-itu aja?"
Pandemi & Refleksi Terbesar
Tahun 2020 datang, dan pandemi membuat semua orang berhenti secara paksa. Yunika yang saat itu masih kerja, pindah sementara ke Bali, lalu bekerja dari rumah selama hampir tiga tahun. Di masa itulah refleksi terjadi.
“Aku mulai mikir, ini bener nggak sih jalur hidup yang aku mau? Apa aku cuma ngejalanin aja karena ini yang ‘harusnya’ dijalani?” katanya.
Dan seperti banyak kisah perubahan besar lainnya, jawabannya datang perlahan. Dari kebiasaan traveling, dari krisis global, dari rasa bosan, dan akhirnya, dari keberanian untuk mencoba sesuatu yang baru.
Membangun Bisnis Travel Gear: Hiloday
Yunika mulai dari hal sederhana. Setiap kali ia traveling, ia merasa selalu harus beli ulang barang-barang yang sama: sikat lipat, botol lipat, kontainer kecil, dan sebagainya. Sampai akhirnya muncul ide: Kenapa nggak sekalian dijual aja?
Dari situ lahirlah Hiloday, brand travel gear yang fokus pada barang-barang praktis untuk para pejalan. Produk andalannya? Bidet lipat — mungil, bisa masuk tas kecil, dan solusi higienis saat di perjalanan. “Ternyata laris banget,” ujar Yunika.
Menariknya, karena ia dan partner-nya sama-sama berlatar belakang teknologi, mereka membangun sistem operasional bisnisnya sendiri. Proses dari supplier → gudang → marketplace → customer dibuat seotomatis mungkin. “Kita cuma punya satu karyawan full-time, khusus untuk handle customer service. Sisanya udah ke-handle sistem,” jelasnya. Hasilnya? Bisnis tetap berjalan meski mereka sedang traveling berminggu-minggu.
Menjelajah Dunia Tanpa Peta Umum
Gaya traveling Yunika bukan tipe jalan-jalan ke spot wisata populer. Ia lebih tertarik ke tempat-tempat yang tidak umum, bahkan ekstrem. “Udah sekitar 28–30 negara aku kunjungi, tapi yang paling berkesan itu justru negara-negara kayak Pakistan, Kyrgyzstan, sama Turkmenistan,” katanya.
Salah satu cerita paling dramatis terjadi saat ia traveling ke Pakistan. Dalam perjalanan panjang dari Lahore ke Hunza Valley, cuaca memburuk. Badai salju turun meski seharusnya sudah masuk musim semi. Di tengah jalan pegunungan, mobil mereka terguling, nyaris jatuh ke jurang. “Ajaibnya, nggak ada satu pun dari kita yang luka. Tapi kita semua panik banget,” kenangnya.
Tapi, seperti kata Yunika, “Karena udah sejauh ini, masa balik? Yaudah lanjut aja.” Dan akhirnya tetap lanjut ke destinasi tujuannya yaitu Khujerab Pass, perbatasan Pakistan-China.
Belum selesai sampai di situ. Malam berikutnya, terjadi longsor besar yang memblokir jalan pulang ke Lahore. Sinyal mati. Listrik padam. Yunika terjebak di kota kecil di pegunungan selama dua hari tanpa internet. Tiket pesawat kembali ke Indonesia akhirnya hangus karena tidak dapat sampai ke Lahore tepat waktu.
Setelah dua hari terjebak di kota kecil pegunungan, Yunika akhirnya berhasil mendapatkan tiket penerbangan Gilgit–Islamabad. Namun ternyata, rute ini dikenal sebagai salah satu penerbangan paling berbahaya di dunia karena medannya yang sangat menantang di antara pegunungan, membutuhkan navigasi manual saat cuaca buruk, dan manuver berisiko seperti berputar beberapa kali di udara untuk mendapatkan ketinggian.
Namun siapa sangka, di balik reputasinya yang berbahaya, penerbangan ini justru menyuguhkan pemandangan paling indah. Deretan gunung tinggi yang tertutup salju putih membentang sejauh mata memandang, begitu menakjubkan hingga membuat Yunika terdiam kagum sepanjang perjalanan.
Sukses = Punya Banyak Pilihan
Ketika ditanya apa arti kesuksesan setelah semua perubahan ini, jawabannya mengejutkan dalam kesederhanaannya: “Punya opsi.”
“Dulu sukses itu ya karier bagus, gaji stabil, jabatan. Tapi sekarang, sukses buat aku itu ketika aku bisa punya pilihan: mau kerja, bisa. Mau balik ke tech, bisa. Mau lanjut bisnis, bisa. Mau pindah ke Belanda? Bisa juga,” jelasnya.
Ia percaya kebebasan sejati bukan tentang tidak bekerja — tapi tentang bisa memilih jalan hidup yang sesuai dengan isi hati, bukan sekadar mengikuti arus.
Menutup Peta, Membuka Jalan Sendiri
Yunika adalah bukti bahwa keberanian untuk keluar dari jalur yang ‘aman’ bisa membawamu ke tempat-tempat yang tak pernah kamu bayangkan. Dari kantor di Jakarta ke jalanan bersalju di Pakistan.
Di akhir percakapan, satu hal terasa jelas: perjalanan bukan hanya tentang tempat yang dikunjungi, tapi tentang versi diri yang dibentuk di setiap langkahnya.